Sunda Wiwitan bukan sekadar sebuah kepercayaan, melainkan warisan budaya dan spiritual masyarakat Sunda yang telah hidup selama ribuan tahun. Sebagai kepercayaan asli masyarakat Nusantara, Sunda Wiwitan mencerminkan cara pandang masyarakat terhadap alam semesta, manusia, dan kekuatan ilahi. Di tengah dominasi agama-agama besar dunia, Sunda Wiwitan tetap hidup melalui komunitas-komunitas adat seperti Baduy di Banten, masyarakat Ciptagelar di Sukabumi, dan komunitas Cigugur di Kuningan.
1. Asal Usul dan Sejarah Sunda Wiwitan
Sunda Wiwitan berasal dari kata "Sunda" yang merujuk pada masyarakat dan budaya Sunda, serta "Wiwitan" yang berarti awal atau mula. Maka, Sunda Wiwitan dapat diartikan sebagai ajaran spiritual asli orang Sunda sebelum kedatangan Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen.
Kepercayaan ini sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno di Tatar Sunda, seperti Tarumanagara dan Sunda Galuh. Ajaran Sunda Wiwitan tersebar luas di masyarakat sebelum mengalami pergeseran akibat pengaruh agama-agama besar. Meski begitu, nilai-nilai dan sistem kepercayaannya tetap lestari di beberapa wilayah.
Pada masa penjajahan Belanda, ajaran Sunda Wiwitan mulai terdokumentasikan. Salah satu sumber penting adalah catatan kolonial dan etnografi yang menyoroti kehidupan masyarakat Baduy dalam dan luar sebagai pewaris ajaran Sunda Wiwitan yang paling otentik.
2. Struktur Ajaran dan Filosofi
Tuhan dalam Sunda Wiwitan
Penganut Sunda Wiwitan mempercayai adanya satu kekuatan tertinggi yang disebut Sang Hyang Kersa (Yang Maha Kuasa), juga dikenal sebagai Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Konsep ini menunjukkan bahwa Sunda Wiwitan mengenal monoteisme lokal.
Kosmologi
Alam semesta dalam Sunda Wiwitan terdiri atas tiga dunia:
Buana Nyungcung: alam tertinggi, tempat Sang Hyang Kersa.
Buana Panca Tengah: alam manusia.
Buana Larang: alam bawah atau tempat kekacauan.
Ajaran Moral dan Etika
Ajaran etika Sunda Wiwitan berfokus pada harmoni dengan alam dan sesama. Prinsip-prinsip hidup seperti:
Teu meunang nyieun cilaka ka batur (tidak boleh menyakiti sesama)
Teu meunang nyieun rusak kana alam (tidak boleh merusak alam)
Hirup kudu jujur jeung sederhana (hidup harus jujur dan sederhana)
3. Pikukuh Sunda: Intisari Ajaran
Pikukuh Sunda adalah hukum adat atau aturan tidak tertulis yang diwariskan turun-temurun. Bagi komunitas Baduy Dalam, pikukuh adalah panduan utama dalam segala aspek kehidupan.
Contoh isi Pikukuh:
Tidak boleh naik kendaraan.
Tidak boleh memakai listrik.
Tidak boleh memakai alat modern yang mengganggu keseimbangan alam.
Pikukuh Sunda menjadi ciri khas utama masyarakat adat Baduy, yang dengan tegas menolak modernisasi demi menjaga keseimbangan kosmis dan moral mereka.
4. Tokoh Penting Sunda Wiwitan
Pangeran Madrais (Sadewa Alibassa Koesoemawinata)
Salah satu tokoh terpenting dalam kebangkitan Sunda Wiwitan di era modern. Beliau adalah pemimpin spiritual dari Cigugur, Kuningan, yang aktif menyebarkan ajaran moral Sunda melalui tulisan dan ajaran.
Pada awal abad ke-20, Pangeran Madrais memperkenalkan ajaran “Djalan Karuhun Urang (DKU)”.
Beliau menekankan pentingnya etika, kearifan lokal, perdamaian, dan hidup selaras dengan alam.
Meski sempat dituduh sesat oleh pemerintah kolonial dan pada masa Orde Baru, ajarannya terus dihidupi oleh ribuan penganut.
Abah Ugi
Generasi penerus di Ciptagelar yang menjaga adat Sunda dan sistem pertanian ekologis. Beliau dikenal luas karena pendekatannya yang menggabungkan adat dengan teknologi modern tanpa merusak filosofi lokal.
5. Perkembangan dan Tantangan di Masa Modern
Masa Orde Baru
Penganut Sunda Wiwitan mengalami diskriminasi berat. Mereka dicap sebagai pengikut "aliran sesat" dan seringkali kesulitan mendapatkan dokumen resmi seperti KTP atau akta nikah.
Pasca Reformasi
Dengan hadirnya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, serta Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016, penganut kepercayaan seperti Sunda Wiwitan mendapatkan pengakuan formal.
Kini, mereka dapat mencantumkan kolom "Kepercayaan kepada Tuhan YME" dalam KTP dan KK, serta mendapat hak pendidikan, pernikahan, dan penguburan sesuai tradisi mereka.
Revitalisasi Budaya
Acara-acara budaya seperti Seren Taun di Cigugur dan Ngaseuk Pare di Ciptagelar menjadi ajang edukasi dan pelestarian nilai-nilai Sunda Wiwitan. Mereka juga aktif memanfaatkan media sosial dan dokumenter untuk menyebarkan filosofi hidup Sunda yang damai dan ekologis.
6. Kesimpulan: Menjaga Warisan Leluhur
Sunda Wiwitan adalah simbol keuletan dan keberlanjutan budaya lokal di tengah arus globalisasi. Dengan berpegang teguh pada Pikukuh Sunda, para penganutnya tidak hanya menjaga spiritualitas leluhur, tetapi juga memberi pelajaran penting tentang hidup selaras dengan alam dan sesama manusia.
Yayasan seperti Satu Persen Indonesia dapat mengambil pelajaran besar dari prinsip-prinsip Sunda Wiwitan dalam mendampingi masyarakat: membangun kesadaran diri, hidup beretika, dan menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Jika Anda tertarik mengenal lebih jauh tentang Sunda Wiwitan atau ingin mendukung pelestarian budaya lokal seperti ini, kunjungi komunitas adat atau ikuti program budaya yang digelar secara rutin di Cigugur, Baduy, atau Ciptagelar.